Hakekat Ilmu Pengetahuan
HAKEKAT
ILMU PENGETAHUAN
A. Ilmu Pengetahuan dan Pikiran
Sehat
Whitehead
(Kerlinger, 1986) mengemukakan bahwa dalam pemikiran kreatif, common
cense (pikiran sehat) bukanlah panutan yang baik.
Satu-satunya kriteria penilaian dari pikiran sehat tentang sesuatu adalah bahwa gagasan-gagasan baru harus mirip dengan gagasan lama. Oleh karena itu, pikiran sehat tidak objektif lagi digunakan menilai sebuah kebenaran pengetahuan dalam berilmu. Pada satu titik pandang, ilmu dan pikiran sehat dianggap serupa. Dalam pandangan ini, ilmu merupakan perpanjangan pikiran sehat yang “sistematis dan terkendali”. Conant (Kerlinger, 1986) menyatakan pikiran sehat merupakan serangkaian konsep dan pola konseptual yang bisa memenuhi kebutuhan praktis seseorang. Namun demikian, pikiran sehat yang demikian ini dapat menyesatkan orang dalam ilmu modern sekarang ini. Sebagai contoh, berabad-abad lamanya orang menganggap (menggunakan pikiran sehat) bahwa hukuman atau sanksi dalam pendidikan merupakan cara yang baik untuk membuat peserta didik mengikuti pembelajaran dengan disiplin. Akan tetapi belakangan ditemukan bukti empiris, bahwa anggapan berdasarkan akal sehat itu ternyata keliru. Justru hadiah (reward) jauh lebih efektif dalam memotivasi peserta didik untuk berprestasi maupun mengikuti pembelajaran dibandingkan dengan memberi hukuman.
Satu-satunya kriteria penilaian dari pikiran sehat tentang sesuatu adalah bahwa gagasan-gagasan baru harus mirip dengan gagasan lama. Oleh karena itu, pikiran sehat tidak objektif lagi digunakan menilai sebuah kebenaran pengetahuan dalam berilmu. Pada satu titik pandang, ilmu dan pikiran sehat dianggap serupa. Dalam pandangan ini, ilmu merupakan perpanjangan pikiran sehat yang “sistematis dan terkendali”. Conant (Kerlinger, 1986) menyatakan pikiran sehat merupakan serangkaian konsep dan pola konseptual yang bisa memenuhi kebutuhan praktis seseorang. Namun demikian, pikiran sehat yang demikian ini dapat menyesatkan orang dalam ilmu modern sekarang ini. Sebagai contoh, berabad-abad lamanya orang menganggap (menggunakan pikiran sehat) bahwa hukuman atau sanksi dalam pendidikan merupakan cara yang baik untuk membuat peserta didik mengikuti pembelajaran dengan disiplin. Akan tetapi belakangan ditemukan bukti empiris, bahwa anggapan berdasarkan akal sehat itu ternyata keliru. Justru hadiah (reward) jauh lebih efektif dalam memotivasi peserta didik untuk berprestasi maupun mengikuti pembelajaran dibandingkan dengan memberi hukuman.
Kerlinger (1986)
mengidentifikasi lima hal yang membedakan antara ilmu pengetahuan dan pikiran
sehat (common sense). Perbedaan-perbedaan itu terletak pada
kata “sistematik, analitis, dan terkendali”. Pertama,
berkaitan dengan penggunaan pola konseptual dan struktur teoretis.
Orang yang menggunakan akal sehat juga menggunakan “teori dan konsep”, tetapi
biasanya dalam pengertian yang longgar. Penjelasan yang “aneh” bahkan terkesan
“khayal” tentang fenomena alami dan insani sering diterima begitu saja tanpa
dipertanyakan secara cukup mendalam. Bila seorang anak tidak lulus atau tidak
naik tingkat, dikaitkan dengan faktor kebencian guru, ketidakseriusan guru
dalam mendidik anak. Sebaliknya, ilmuwan mengembangkan struktur-struktur
teori, mengujinya untuk mengetahui konsistensi internalnya, dan segi-segi
struktur itu diperiksa melalui uji empiris.
Kedua, ilmuwan
secara sistematis dan empiris menguji teori-teori dan
hipotesis-hipotesisnya. Orang-orang yang bukan ilmuwan pun menguji
“hipotesis”, namun dengan cara yang selektif. Mereka sering memilih-milih bukti
tertentu, semata-mata karena cocok dengan hipotesisnya. Misalnya, ada pandangan
klise tentang “lulusan SMA 1 Kota X, memiliki kemampuan akademik yang baik,
karena sekolah ini merupakan sekolah favorit”. Karena orang mempercayai
pandangan tersebut, maka orang tua calon siswa di sekolah tersebut dengan
gampang “memverifikasikan” keyakinan itu dengan menunjukkan banyaknya alumni
SMA 1 yang menjadi orang sukses. Perkecualian dari pikiran klise ini, yakni
alumni SMA 1 yang tidak sukses dalam pekerjaan, atau tidak sukses dalam tingkat
pendidikan selanjutnya (perguruan tinggi), tidak diperhatikan.
Perbedaan ketiga terletak
pada pengertian tentang kendali atau kontrol.
Dalam penelitian ilmiah, “kontrol” dapat berarti bermacam-macam.
Istilah kontrol menyiratkan bahwa secara sistematis ilmuwan berupaya untuk
mengesampingkan variabel-variabel yang bukan merupakan penyebab timbulnya
akibat-akibat yang sedang dikaji, selain variabel yang dihipotesiskan sebagai
penyebab. Orang yang menggunakan akal sehat dalam mencari pengetahuan jarang
mau bersusah payah mengontrol secara sistematis penjelasan yang diajukannya
tentang fenomena atau gejala yang diamati. Biasanya tidak banyak upaya yang
dilakukan untuk mengontrol sumber-sumber pengaruh di luar yang dipersoalkan.
Orang yang menggunakan akal sehat cenderung menerima penjelaskan-penjelasan
yang sesuai dengan prakonsepsi tertentu dan cenderung bias. Apabila mereka
mempercayai bahwa kondisi lingkungan sekolah yang kumuh menghasilkan kenakalan,
maka mereka cenderung mengabaikan kenakalan di lingkungan sekolah yang tidak
kumuh. Sebaliknya, para ilmuwan “mecari dan mengontrol” munculnya
kenakalan dalam berbagai lingkungan pemukiman yang lain.
Perbedaan keempat antara
ilmu dan common sense tidak begitu tajam. Ilmuwan
terus-menerus terpancang pada hubungan antara fenomena-fenomena.
Demikian pula mereka yang menggunakan common sense untuk
menjelaskan fenomena. Akan tetapi, ilmu secara sadar dan sistematis mencari
hubungan-hubungan itu. Orang yang menggunakan akal sehat melihat hubungan antar
fenomena masih longgar, tidak sistematis, dan tidak terkendali.
Misalnya, dua fenomena yang muncul secara kebetulan dan mendadak, sering
dianggap atau dikaitkan sebagai sebab dan akibat.
Perbedaan terakhir antara common sense dengan
ilmu terletak dalam hal penjelasan yang berlainan mengenai fenomena yang
diamati. Ilmuwan, berupaya menjelaskan hubungan-hubungan antara
fenomena-fenomena yang diamati, secara hati-hati dengan mengesampingkan apa
yang dinamakan “penjelaskan metafisik”. Penjelasan metafisik
merupakan proposisi/pernyataan yang tidak dapat diuji, misalnya, bahwa anak
bodoh di sekolah karena hukuman dari Tuhan atau karena Tuhan menghendakinya.
Proposisi ini tidak dapat diuji secara empirik karena bersifat metafisik
(transendental). Meskipun hal ini mungkin benar dan akal sehat kita
menerimanya, akan tetapi ilmu pengetahuan tidak memperhatikan atau mengkaji
proposisi-proposisi seperti ini.
B. Metode
Pengetahuan
Metode keyakinan. Melalui cara ini kita menerima kebenaran karena kita
memegang teguh kebenaran itu, atau karena kita senantiasa mengetahuinya sebagai
sesuatu yang benar. Beberapa etnis di Indonesia misalnya, orang tua memberikan
gula (merah) kepada anaknya untuk dimakan ketika akan memulai
membaca/mempelajari (membaca Al-Quran).
Metode otoritas. Metode
ini tumbuh dalam keyakinan yang telah mapan. Pernyataan pemerintah bahwa
Penataran P4 merupakan salah satu cara yang dapat “memanusiakan” masyarakat
Indonesia sekian tahun diterima sebagai kebenaran. Penataran P4 pun
dilaksanakan mulai pada tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Metode Tradisi. Kebenaran
diterima karena telah menjadi tradisi dalam masyarakat atau lingkungan
tertentu. Tradisi tabur sesaji di laut agar tangkapan nelayan semakin banyak
hingga sekarang ini masih dilakukan di beberapa daerah, karena telah menjadi
tradisi yang turun temurun.
Metode trial and error. Sesuatu
yang dianggap benar diperoleh melalui serangkaian percobaan yang tidak
sistematis. Mula-mula dicoba, hasilnya gagal, kemudian dicoba lagi. Jika ada
yang benar dari rangkaian percobaan tersebut dianggapnya sebagai pengetahuan
baru.
Metode metafisik, sesuatu
dianggap benar didasarkan pada pengkajian secara supranatural atau secara
transenden (misalnya keyakinan pada agama atau pada mistik tertentu).
Metode a priori. Cara ini
diunggul-unggulkan lebih baik dari cara-cara lainnya. Metode ini biasa juga
disebut dengan metode intuisi, yakni metode yang menyajikan pengetahuan tanpa
harus dibuktikan. Tetapi metode a priori memiliki konsepsi
individual, artinya pernyataan a priori seseorang terhadap
sebuah fenomena yang sama bisa berbeda-beda. Proposisi a priori berarti “sesuai
dengan nalar”. Lalu, nalar siapa?
Metode Ilmu Pengetahuan (metode
ilmu). Pierce (Kerlinger, 1986) menyatakan, bahwa untuk menjawab
kebimbangan-kebimbangan dalam menemukan pengetahuan, harus ditemukan suatu
metode yang memungkinkan bebasnya keyakinan atas kesimpulan kita dari
ketergantungan pada sesuatu yang manusiawi, dan menjadikannya bergantung pada
permanensi eksternal yang bebas dari pikiran kita. Inilah metode terlengkap
dalam berilmu, yakni metode dengan hakekat bahwa segala kesimpulan/perpepsi
akhir dari setiap orang tentang sebuah fenomena yang sama adalah sama.
Metode ini menghasilkan pengetahuan melalui proses
deduksi dan induksi. Permasalahan ilmu pengetahuan dikaji melalui dunia empiris
dan jawabnnya pun dianalisis secara sistematis dan terkendali melalui dunia
empiris pula.
C. Objek,
Fungsi, Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
Objek
ilmu pengetahuan berkisar pada tiga hal yakni 1) apa ilmu pengetahuan itu
(ontologi), 2) bagaimana memperoleh ilmu pengetahuan (epistemologi), dan 3)
untuk apa ilmu pengetahuan yang diperoleh (aksiologi). Ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Apa
yang menjadi objek ontologis ilmu, yang membedakan dengan pengetahuan yang
lainnya seperti agama? Jawabnya, sederhana yakni bahwa ilmu memulai
penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berakhir pada pengalaman manusia.
Ilmu dimulai dari keragu-raguan dan berakhir pada kepastian ilmiah (meskipun
tidak mutlak). Agama dimulai dari kepastian keyakinan dan juga berakhir di situ. Ilmu
tidak mengkaji tentang hal yang buruk atau baik dari fenomena karena itu
menjadi objek kajian agama, demikian pula persoalan surga dan neraka, atau
sebab kejadian/penciptaan manusia, karena fenomena ini berada di luar jangkauan
pengalaman manusia.
Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang ilmu, yaitu
pandangan statis dan pandangan dinamis (Kerlinger, 1986). Dalam pandangan
statis, orang (terutama orang yang menggunakan akal sehat) melihat ilmu
pengetahuan sebagai sesuatu yang dapat memberikan informasi kepada manusia
tentang dunia dan fenomenanya, sehingga ilmu tidak lain berupa sehimpunan
fakta. Dalam konteks ini ilmu dipandang sebagai cara yang dapat digunakan untuk
menjelaskan fenomena yang teramati. Penekanan ilmu menurut pandangan ini adalah
pada taraf dan keadaan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, berupa perangkat
hukum, teori, hipotesis, dan kaidah-kaidah yang ada.
Sementara itu, pandangan dinamis melihat “ilmu sebagai
suatu kegiatan” yakni hal-hal yang dilakukan oleh ilmuwan. Penekanannya
adalah pada taraf pengetahuan yang akan dicapai pada suatu saat tertentu
(bukannya yang ada sekarang ini saja, misalnya dalam bentuk referensi
teoretis). Dalam pandangan dinamis, teori-teori yang ada justru menjadi alat
untuk menjadi landasan teori dalam penelitian yang lebih lanjut.
Ilmu pengetahuan berfungsi menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi
perilaku kejadian objek yang dikaji oleh ilmu yang bersangkutan, yang
memungkinkan kita untuk mengkaitkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi secara terpisah atau membuat ramalan yang andal (dapat dipercaya)
tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Dalam bentuk praktis fungsi ilmu
bagi manusia adalah sebagai alat yang dapat membantu manusia dalam
menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Tujuan ilmu pada
dasarnya adalah melahirkan teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena alami.
Selain itu, ilmu memberikan fungsi metodologis, yakni memberikan kerangka konseptual mengenai cara penelusuran
sebab-sebab terjadinya suatu fenomena dan keterkaitan antarfenomena
alami/empiris.