Yinda-yindamo karo somanamo lipu
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sebelummelakukan pemaparan dan pembahasan terperinci mengenai Buton perlu dilakukanidentifikasi dan pembatasan- pembatasan tertentu terlebih dahulu pada lingkupmana dan merujuk kepada kontelasi apa kajian akan berlangsung. Hal ini sangatpenting dilakukan mengingat penamaan buton dapat merujuk pada setidak- tidaknyaempat hal sekaligus, yaitu pertama,
Buton yang diberikan untuk nama sebuah pulau; kedua, nama untuk kerajaan atau kesultanan di masa lalu; ketiga, nama sebuah kabupaten; keempat, nama untuk menyebut orang Buton (Rabani dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009 : 2877). Adapun penyusunan makalah ini kami maksudkan untuk merujuk pada aspek yang kedua, yaitu Buton sebagai kerajaan atau kesultanan. Pembahsan ini tentu berkaitan dengan Buton sebagai pulau dan Buton sebagai komunitas orang- orangnya. Keterkaitan ini akan sangat terlihat pada telaah struktur social dan ideologi kekuasaan serta pembedaan masyarakat atas orang Wolio dan orang non Wolio atau orang Buton secara umum yang mendiami keseluruhan sebaran wilayah kerajaan maupun kesultanan Buton pada masa masing- masing.
Buton yang diberikan untuk nama sebuah pulau; kedua, nama untuk kerajaan atau kesultanan di masa lalu; ketiga, nama sebuah kabupaten; keempat, nama untuk menyebut orang Buton (Rabani dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009 : 2877). Adapun penyusunan makalah ini kami maksudkan untuk merujuk pada aspek yang kedua, yaitu Buton sebagai kerajaan atau kesultanan. Pembahsan ini tentu berkaitan dengan Buton sebagai pulau dan Buton sebagai komunitas orang- orangnya. Keterkaitan ini akan sangat terlihat pada telaah struktur social dan ideologi kekuasaan serta pembedaan masyarakat atas orang Wolio dan orang non Wolio atau orang Buton secara umum yang mendiami keseluruhan sebaran wilayah kerajaan maupun kesultanan Buton pada masa masing- masing.
Kerajaan
atau Kesultanan Buton masa lalu terletak
antara 4 derajat dan 6 derajat lintang selatan dan 122 derajat dan 125 derajat
bujur timur. Luas daerah seluruhnya 11.300 km². pulau- pulau itu terbentuk dari
karang yang terangkat memanjang di lautan, dan agak bergunung- gunung (Schoorl,
2003 : 27). Juga, menurut data yang kami peroleh dari tulisan Schoorl, masih
dalam bukunya yang sama yang berjudul “Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton”,
kerajaan Buton yang selanjutnya menjadi Kesultanan Buton meliputi pulau-
pulau utama Buton (Butuni atau Butung), Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi
serta dua daerah dibagian tenggara pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang)
(Schoorl, 2003 : 1). Daerah- daerah ini adalah daerah kekuasaan kerajaan,
kemudian Kesultanan
Buton saat itu, yang tidaklah lagi demikian adanya saat ini. Muna dahulu telah
menjadi kabupaten Muna yang sekarang, gugusan kepulauan Tukang Besi menjadi
kabupaten Wakatobi serta Kabaena, Rumbia dan Poleang menjadi kabupaten Bombana
(Tamim, dalam Naskah Buton, Naskah Dunia, 2009 : 149). Hal ini memberikan
kepada kita suatu gambaran perubahan signifikan atas luas wilayah kekuasaan
negara Buton yang jauh berbeda setelah terintegrasi ke dalam wilayah kekuasaan
Republik Indonesia. Dalam musyawarah persiapan pembentukan daerah tingkat II di
Kendari tahun 1959, ditetapkan Buton dan Muna sebagai dua kabupaten otonom di
Sulawesi Tenggara dengan Kendari sebagai ibu koya propinsinya, hal mana yang
sekaligus menandai berakhirnya masa Kesultanan Buton yang sudah bertahan lebih dari 500 tahun
mengarungi bahtera sejarah (Darmawan, 2008 : 24).
Dalam
sejarah, Buton
tercatat pertama kalinya sebagai sebuah komunitas migrasi para pendatang dari
johor, tanah melayu. Mereka di pimpin oleh empat orang yang bernama Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, dan Sijawangkati. Oleh orang-orang Buton pada masa itu, ke empat orang
tersebut digelari mia patamiana. Awalnya mereka menempati daerah sekitar pantai
Kampala, namun karena banyaknya
perompak yang datang, komunitas ini pun pindah kesuatu perbukitan yang masih
berupa hutan. Mereka kemudian membuka lahan dengan cara menebang pohon-pohon di
hutan tersebut. Aktifitas penebangan hutan untuk membuka lahan inilah yang
kemudian disebut-sebut oleh sejumlah peneliti dalam sejumlah literaturnya
sebagai asal mula kata wolio, yang akar katanya dalam bahasa wolio adalah welia
yang berarti menebas.
Buton
kemudian memasuki zaman kerajaannya, ketika Wa Kaa-Kaa di angkat sebagai ratu pertama Kerajaan Buton, yang menurut hikayat Wa Kaa-Kaa adalah seorang gadis yang lahir
dari bulu bambu, sehingga orang-orang Buton menggelarinya Mobetena Yi Tombula. Namun versi lain
mengatakan bahwa Wa Kaa-Kaa sebenarnya adalah putri dari dinasti Mongol, anak Kubilai
Khan, yang memerintah Mongol ketika itu. Wa Kaa-Kaa di utus ke Buton untuk mencari dan menggagalkan
usaha Gajah Mada, patih
yang sangat masyur
dari Kerajaan Majapahit yang merupakan
musuh dinasti Mongol.
Menurut cerita, Gajah Mada ketika itu juga sedang berada di tanah Buton dan untuk misi itulah Wa Kaa-Kaa di utus ke Buton.
Pemerintahan
Kerajaan Buton di mulai oleh Ratu Wa Kaa-Kaa pada sekitar tahun 1302-1336 dan
berakhir pada masa pemerintahan Raja Lakilaponto sebagai raja IV mulai antara tahun 1491-1511
(Serajuddin, dalam naskah Buton, Naskah Dunia, 2009;137). Masuknya islam ke Buton yang dibawah oleh para pedagang
dan sufi Arab melalui jalur perdagangan dan pelayaran pada sekitar tahun 1464,
sumber lain menyebutkan pada sekitar tahun 948 H atau yang jika di persamakan
dengan hitungan masehi sama dengan sekitar tahun 1542, menyebabkan berakhirnya
masa Kerajaan Buton dan dimulainya masa Kesultanan dengan Sultan Murhum, nama lain Raja Lakilaponto setelah masuk islam,
sebagai Sultan
Buton pertama. Masa Kesultanan ini berlangsung sejak
1511-1960 dengan sultan La Ode Muhammad Falikhi sebagai Sultan terakhir, sultan
ke 38 yang memerintah Buton.
Layaknya
sebuah Kerajaan
atau Kesultanan, Buton hidup dengan
mengembangkan kebudayaannya sendiri. Sejalan dengan salah satu konsep
kebudayaan yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah proses dan strategi adaptasi
terhadap lingkungan, demikian pulalah dengan kebudayaan yang hidup dan
berkembang di Kerajaan
dan Kesultanan Buton. Masyarakat Buton mengembangkan kebudayaannya sebagai
suatu kompleks sistem
ide, gagasan, serta sistem
nilai mengenai hakikat hidup, mengenai apa yang baik dan tidak baik, mulia dan
tidak mulia yang di lakukan baik dalam kehidupan pribadi, hubungan dengan orang
lain maupun sang penguasa. Sistem nilai inilah yang melahirkan falsafah yang menjadi
rambu-rambu yang mengarahkan tata kelakuan dan pola interaksi dalam hidup
bermasyarakat. Keseluruhannya, baik sistem nilai, maupun sistem tata laku secara padu padan (integral) melahirkan hasil
karya yang menjadi simbol
identitas dan jati diri serta membentuk peradaban. Sehubungan dengan falsafah
inilah, makalah ini di buat yaitu untuk melihar dan memberikan deskripsi hasil
rekonstruksi historis tentang aplikasi transformasi konkret nilai-nilai
falsafah Buton
dalam kehidupan masyarakat Buton yang senyatanya dalam aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan agama.
1.2
Batasan Masalah
Falsafah perjuangan orang Buton ini
merupakan produk zaman Kesultanan
setelah islam menapakkan kakinya di bumi Buton. Nilai- nilainya bersumber dari
Al-Quran dan Hadist. Terdiri atas : 1).Yinda- yindamo Arataa Solana Karo, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah harta yang penting diri;
2). Yinda- yindamo Karo Solana Lipu, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah diri yang penting negara; 3). Yinda- yindamo Lipu Solana Sara, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah Negara yang penting pemerintahan; dan 4). Yinda- yindamo Sara Solana Agama, yang secara harfiah berarti
tidak usahlah pemerintahan yang penting Agama (Safulin, dkk, 2007 : 85).
Mengingat
luasnya lingkup objek atau fenomena yang dapat menjadi kajian falsafah Buton di
zaman Kerajaan maupun Kesultanan, maka demi fokusnya
pembahasan kami melakukan pembatasan masalah atas falsafah yang menjadi bahan kajian
kami adapun pembahasan kami dalam mengenai falsafah perjuangan orang Buton “Yinda- yindamo Karo
Somanamo Lipu”. Nilai- nilai prinsipil Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu ini
akan kami kaji penerapannya dalam beberapa aspek yaitu aspek politik, ekonomi,
sosial budaya dan agama pada zaman Kerajaan hingga Kesultanan Buton.
1.3
Rumusan
masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah “Aplikasi nilai- nilai falsafah perjuangan orang Buton “Yinda- yindamo
Karo Somanamo Lipu” dalam aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan agama pada zaman Kerajaan hingga Kesultanan Buton”.
1.4
Tujuan
Adpun tujuan dari pembahasan makalah
ini adalah Untuk mengetahui penerapan (aplikasi) falsafah perjuangan orang
Buton “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu” dari aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan agama pada zaman Kerajaan hingga Kesultanan Buton.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Falsafah Perjuangan Orang Buton
“Yinda- yindamo Karo
Somanamo Lipu”
Falsafah
perjuangan ini lahir pada abad ke -16 M, di masa pemerintahan Sultan La
Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615). Sultan Buton ke-4, La Elangi Dayanu
Ikhsanuddin, yang telah sukses membuat UUD Kesultanan Buton yaitu Martabat
Tujuh beserta peraturan- peraturan pemerintahan lainnya, sekaligus berhasil
membawa negerinya ke tingkat kehidupan politik , sosial dan budaya yang lebih maju dan
berkembang. Perkembangan selanjutnya adalah semangat nasionalisme dan
patriotisme yang merangsang memenuhi seluruh jiwa raga tiap kesatria dan
kalangan rakyat. Dalam situasi dan kondisi demikian, merebaklah cinta tanah air
(Lipu), agama dan bangsa.
Falasafah
perjuangan “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu” (rela mengorbankan diri
demi menyelamatkan negeri/wilayah atau demi kepentingan negeri/wilayah),
subtansinya adalah mengandung unsur manusia/kemanusiaan atau humanistik, dengan nilai kemanusiaan yaitu
saling mencintai, menghormati, saling mengayomi serta dapat bekerja sama, baik
dikalangan sendiri maupun dengan pihak lain; memiliki sikap tenggang rasa dan
tidak semena- mena terhadap pihak lain; memperlakukan bawahan dengan persamaan
derajat, hak dan kewajiban; menjunjung tinggi nilai- nilai kemanusiaan (sering
melakukan kegiatan kemanusiaan (Turi, 2007 : 171).
Falsafah
perjuangan ini ditemukan dalam kepemimpinan organisasi yang selalu rela
berkorban untuk kepentingan umum. Hal ini ditunjukan dengan mengorbankan waktu,
tenaga maupun pikirannya untuk menyelesaikan tugas- tugas kedinasan di luar jam
dinas (Turi, 2007 : 165).
Falsafah hidup tersebut di atas telah menjadi konsensus pemerintah
Kesultanan Buton bersama seluruh rakyat, ditempatkan menjelang penutup
Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton (Martabat Tujuh). Namun, dalam sejarah
perkembangannya,istilah-istilah tersebut telah mengalami perubahan sebagai
berikut:
1. Yinda-yindamo Arataa Somanamo Karo
2. Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu
3. Yinda-yindamo Lipu Somanamo Sara
4. Yinda-yindamo Sara Somanamo Agama
Yinda-yindamo dalam terjemahan bebasnya adalah “biarlah
hilang sama sekali ”. sesungguhnya menegaskan ungkapan positifme dan sifat
ksatria sejati, yaiu: rela membuang atau mengorbankan seluruh kepentingan diri
sendiri demi untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.
Dan dalam perkembangan selanjutnya, istilah Yinda-yindamo
itu berubah pula dan dipersingkat dengan Bholimo, hingga menjadilah:
1. Bholimo arataa somanamo karo
2. Bholimo karo somanamo lipu
3. Bholimo lipu somanamo sara
4. Bholimo sara somanamo agama
Perlu dikemukakan bahwa perubahan istilah asli yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yaitu amadaki-amadakimo
kemudian menjadi Yinda-yindamo dan terakhir menjadi Bholimo dan istilah Solana
Bholi berubah menjadi Somanamo, penulis belum mendapatkan data akurat kapan
mulainya perubahan itu. Menurut dugaan penulis, kemungkinan itu disebabkan
perubahan gerak maju dari pola pikir masyarakat yang menghendaki serba singkat
dan serba cepat. Atau pengaruh bahasa sehari-hari yang lebih populer dalam
masyarakat dan tanpa disadari sudah menghilangkan bahasa aslinya sebagai bahasa
baku.
Nilai-nilai Bholimo Karo Somanamo Lipu dalam
pelaksanaan kepemimpinan diwujudkan dalam bentuk sikap rela berkorban untuk
kepentingan orang lain. Wujud dari pengorbanan dan pengabdian suci seorang
pemimpin organisasi untuk rela mengorbankan diri asalkan untuk kepentingan
bersama (Turi, 2007 : 166).
2.2 Aplikasi falsafah perjuangan’’yinda-yindamo
karo somanamo lipu’’
2.2.1 Aspek Politik
Kata
“politik” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani Politeia, yang
akar katanya adalah Polis,berarti kesatuan masyarakat yang berdiri
sendiri,yaitu negara
dan teia,yang berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia,politik dalam arti
Politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik
merupakan suatu rangkaian asas, prinsip,keadaan,jalan, cara, dan alat
yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikehendaki. Politics
dan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, jalan, dan
arah tersebut sebaik-baiknya (Sumarsono, dkk, 2002 : 137).
Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa politik menyangkut proses
penentuan tujuan negara
dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan tersebut kemudian memerlukan
kebijakan-kebijakan umum (public pollicies) yang menyangkut
pengaturan, kebijakan umum, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Lebih lanjut
bahwa penentuan kebijakan umum, pengaturan, pembagian, atau alokasi
sumber-sumber yang ada memerlukan kekuasaan dan wewenang (authority).
Kekuasaan dan wewenang ini merupakan hal-hal yang memainkan peranan sangat
penting dalam proses pencapaian tujuan. Karenanya, disimpulkan bahwa politik
membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, struktur, dan ideologi kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan (policy) ,dan distribusi atau alokasi sumber daya (Sumarsono,
dkk, 2001: 137 -8).
Sehubungan dengan hal-hal diatas, akan kita lihat aplikasi nillai-nillai Yinda-
yindamo Karo Somanamo
Lipu dalam bidang politik yang pernah hidup di negara Buton muda, pada masa kerajaan
maupun kesultanan, sehubungan dengan aspek negara, demokrasi, dan strukturisasi
pemerintahan.
Berdasarkan sumber-sumber yang ada terlihat bahwa struktur pemerintahan di Kesultanan Buton memperlihatkan
struktur dan pengelolaan pemerintahan yang telah diatur menurut ketentuan
konstitusi dan pelaksanaan pemerintahannya telah dilakukan secara secara
demokratis, demikian pula dengan hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah
dan tata aturan pemerintah dengan rakyat yang dipimpinnya telah ditetapkan
sebagaimana layaknya ciri sebuah negara awal, (school , 2003 :81 dalam Said dalam naskah
buton, naskah Dunia, 2009 :196). Lebih lanjut dikatakan bahwa UUD Martabat
Tujuh Kesultanan Buton yang merupakan
konstitusi tertulis kesultanan Buton ketika itu, yang diciptakan oleh Sultan La
Elangi pada masa pemerintahannya yang diundangkan secara resmi oleh Sapati La
Singga pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton merupakan UUD tertulis
tertua di dunia. Kelahirannya jauh mendahului lahirnya “Virginia Bill of
Rights” , yang baru lahir pada tahun 1776 oleh ke -13 koloni Inggris,
yang berderet sepanjang pesisir timur dari apa yang sekarang berbentuk Amerika
Serikat. Konstitusi Amerika Serikat lahir setelahnya, yaitu pada September 1787
(Prof. DR. M. Solly Lubis, SH :33 dalam Sardi dalam Naskah Buton, Naskah Dunia,
2009 :167). Dengan demikian, mengutip ucapan mantan Menteri Hukum dan HAM, Dr. M Saad,
dalam salah satu kunjungannya ke Baubau bahwa demokrasi tertua di Indonesia bahkan konstitusi
tertulis tertua di seluruh dunia adalah demokrasi dan konstitusi tertulis Kesultanan Buton.
Masa
pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
demokrasi dan konstitusi tertulis Kesultanan Buton. Pemerintahan dengan
bertambah luasnya wilayah Kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan
Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai
diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat
dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional
menjadi kain). Memasuki masa pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai
aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan
ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang
di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat Kesultanan dalam melaksanakan
pemerintahan serta ditetapkannya sistem desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie
(wilayah kecil).
2.2.2 Aspek Ekonomi
Sebelum
membahas tentang Falsafah perjuangan “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu” dari segi ekonomi, kita
mengulas terlebih dahulu arti dari ekonomi itu sendiri. Kata “ekonomi” berasal
dari kata Yunani, oikos yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan
nomos atau peraturan, aturan, hukum. Jadi secara garis besar, ekonomi
diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga”.
Ekonomi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan
kemakmuran. Ekonomi merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama halnya dengan
keberadaan manusia di bumi ini sehingga kemudian timbul motif ekonomi yaitu
keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam kehidupan masyarakat Buton khususnya
dalam bidang ekonomi berjalan dengan baik berkat relasi perdagangan dengan
negeri setempat, dalam negeri Buton sendiri telah berkembang suatu sistem
perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan. Jabatan yang berwenang memungut
pajak di daerah kecil adalah tungguweti. Sebagai alat tukar dalam aktivitas
ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut kampua. Panjang kampua
adalah 17,5 cm dan lebarnya 8 cm, terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang,
kemudian ditenun menjadi kain secara tradisional.
Dimasa itu, biasanya masyarakat kecil membawa hasil
kebun, laut, dan sebagainya kepada Sultan yang bisa disebut upeti setiap
tahunnya. Namun hal ini tidak menjadikan mereka berkecil hati terhadap
Kesultanan Buton. Hal ini dikarenakan adanya sikap saling menghargai antara
kaum masyarakat atas dan masyarakat kecil. Para penjabat tidak memisahkan diri
dari kalangan bawah namun justru berbaur dengan mereka. Misalnya pada pusat
kegiatan ekonomi, seperti pasar, tidak ada perbedaan khusus antara pejabat dan
masyarakat umum baik dalam segi pelayanan ataupun komunikasi. Meskipun
demikian, masyarakat tetap menjunjung tinggi, menghormati kepada para pemimpin
dan orang tua.
Sangat jelas sekali jika dikaikan dengan falsafah
perjuangan “Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu” dari segi ekonomi yaitu tidak ada
perbedaan khusus antara pejabat dan masyarakat umum. Baik dalam segi pelayanan
dan komunikasi. Para pejabat juga tidak mementingkan dirinya ataupun jabatannya
dan tidak memisahkan diri dari kalangan bawah, namun justru berbaur dengan
mereka.
2.2.3 Aspek
Sosial
Budaya
Sebelum
diuraikan secara terperinci, istilah sosial sering dikaitkan dengan hal- hal yang berhubungan dengan
manusia dalam masyarakat, seperti kehidupan dan seterusnya. Kehidupan sosial masyarakat Buton, terdiri dari golongan Kaomu, Walaka , Papara dan Batua. Kaomu dan Walaka termaksud kategori bangsawan
(ningrat) dan orang Wolio,
sedangkan Papara
dan Batua termaksud kategori orang non Wolio. Dimana Papara dan Batua adalah golongan yang tidak
dapat diketahui kamiyanya.
Dalam masyarakat Buton mengenal budaya adat istiadat seperti haroa, pouso,
kawia, matea dan sebagainya. namun demikian, kata budaya berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu “budhayah” yang merupakan bentuk jamak budi, yang
artinya akal atau segala sesuatu yang berhubungan dengan akal pikiran manusia.
Budaya
memiliki perwujudan, contohnya adanya aktivitas (tindakan) yang merupakan suatu
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, sering pula disebut dengan sistem
sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret,
terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati dan didokumentasikan.
Dalam masa pemerintahan Sultan Himayatuddin Muhamad Sayidi berjuang bukan karena
disebabkan oleh ambisi untuk merebut dan menduduki tahta kekuasaan. Dari sudut
pandang tindakan, ucapan serta perilaku yang diperlihatkan oleh Sultan
Himayatuddin tetap mampu menjaga diri sesuai dengan komitmen dan status
sosialnya sebagai bangsawan. Oleh karena itu Sultan Himayatuddin tidak
berambisi dan menginginkan status sosial keberadaannya di masyarakat harus diakui berdasarkan
status sosial.
Jika dikaitkan dengan falsafah perjuangan “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu”
pada masa pemerintahan Sultan Himayatuddin kita dapat menyimpulkan bahwa
Sultan Himayatuddin tidak ingin mengutamakan status sosialnya pada masyarakat
dalam arti tidak membeda- bedakan derajat.
Budaya Buton sebagai bagian dari budaya nasional pada khususnya dan termasuk
dalam budaya timur pada umumnya perlu mendapat perhatian dan pengkajian yang
serius dari ilmuan, seniman,dan kebudayaan.hal ini didukung oleh arahan
kebijakan pembangunan kebudayaan, kesenian dan pariwisata secara garis
besar meliputi :
a. Mengembangkan dan membina kebudayaan
nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa,
budaya nasional yang mengandung nilai- nilai universal termasuk kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan
hidup bermasyarakat dan mengandung peradaban bangsa.
b. Merumuskan nilai- nilai kebudayaan
Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas
perilaku kehidupan ekonomi, politik hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas berbudaya masyarakat.
c. Mengembangkan sikap kritis terhadap
nilai- nilai budaya yang kondusif dan serasi untuk menghadapi tantangan
pembangunan bangsa di masa depan.
d. Pengembangan sikap kritis terhadap
nilai- nilai budaya, pengembangan kebebasan berkreasi dalam berkesenian.
e. Pengembangan dunia perfilman
Indonesia.
f. Pelestarian apresiasi nilai kesenian
dan kebudayaan tradisional sebagai wahana pengembangan pariwisata.
g. Pengembangan pariwisata dengan
pendekatan sistem
yang utuh berdasarkan pemberdayaan masyarakat.
Hal
tersebut didukung oleh UUD Negara RI Tahun 1945 pasal 32 yang berbunyi : (1)
Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya, (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan
budaya nasional.
Berkaitan dengan hal ini,maka dalam falsafah
perjuangan’’Yinda-yindamo Karo Somanamo Lipu’’dari segi sosial budaya dapat
dimaknai bahwa setiap prilaku/tindakan yang dilakukan setiap hari harus lebih
mementingkan orang banyak dibandingkan diri kita sendiri dalam arti lebih
cenderung menghargai budaya –budaya lain tapi dengan tanda kutip ‘’budaya
sendiri harus dapat dijunjung martabatnya’’.agar dapat memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budaya.atau dengan kata lain,suatu tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat dimana terdiri dari aktivitas-aktivitas yang
berinteraksi,serta bergaul dengan manusia lainya menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan didaerah kita masing-masing.
2.2.4 Aspek Agama
Sebagaimana
kita ketahui bahwa agama yang yang dominan dalam masyarakat Buton sampai sekarang adalah agama Islam. Awal mula masuknya agama Islam di Buton yaitu pada abad ke -16 dimana
Kesultanan dengan basis agama Islam. Perubahan bentuk pemerintahan
ini terjadi pada masa Raja Lakilaponto yang bergelar Murhum Khalifatul Hamis
(1538-1584), sebagai Raja VI sekaligus sultan I. Oleh karna itu, Sultan Murhum
menjadi Raja
selama beberapa tahun sebelum akhirnya memeluk Islam dan menyatakannya sebagai agama
Kerajaan dan agama seluruh rakyat
Buton. Perubahan bentuk pemerintahan ini di tandai dengan didirikannya
bangunan-bagunan yang bercorak dan berciri Islam yang sampai kini
bukti-buktinya masih dapat di lihat di Keraton Buton berupa mesjid dan makam
kuno (makam Sultan Murhum) dengan arah hadap utara-selatan.
Terdapat
dua versi mengenai masuknya islam ke Buton yaitu pertama, Islam masuk ke Buton pada tahun 1540 (Schoorl,2003:135).
Menurut cerita yang berkembang turun temurun di Buton, raja di Kerajaan Buton
memeluk agama Islam pada tahun 948 H. Dengan demikan menjadi sultan pertama Kesultanan Buton. Jika
berpatokan pada tahun 948 H. maka kira- kira masuknya Islam ke Buton sama dengan tahun 1540
M atau pertengahan abad ke-16 (Zahari, 1980 : 40). Pembawa Islam ke Buton ialah Syekh Abdul
Wahid, putra Syekh Sulaiman keturunan arab yang beristri puteri Sultan Johor.
Kedua,
ketika Sultan Baabulah dari Ternate menaklukkan Kerajaan Buton pada tahun 1580 dan
memperkenalkan agama Islam
di Buton (Ligtvoet, 1878 : 31). Akan tetapi, sumber- sumber dalam tradisi loKal budaya Buton dengan rasa bangga
mencatat bahwa ketika penguasa Ternate (Sultan Baabulah) datang ke Buton, beliau
terpaksa harus mengakui bahwa rakyat di Buton sudah memahami islam (Schoorl,
2003 : 157). Pada saat yang sama memang diakui adanya ketergantungan tertentu
dalam bidang agama, karena menurut kebiasaan setiap jumat orang Buton harus ke
Ternate untuk ikut Shalat jumat di masjid Ternate. Jarak Buton –Ternate di
jembatani dengan cara yang mengagumkan sehingga kewajiban shalat jumat ini
dapat dipenuhi. Kebiasaan ini kemudian berakhir ketika dibangun masjid Keraton
Buton. Menurut Schoorl (2003 : 157) legenda ini merupakan petunjuk dari
ketergantungan dalam bidang agama.
Falsafah hidup Kesultanan
Buton menempatkan agama Islam pada posisi puncak tertinggi. Ini berarti bahwa agama Islam merupakan satu- satunya sumber
hukum tertinggi dalam menyusun sila- sila berikutnya yaitu : tata pemerintahan
(sara), mengelola Negara (lipu), mengatur kehidupan dan kepentingan orang
banyak (karo) dan pengurusan harta benda (arataa). Semuanya itu wajib
dilaksanakan sesuai kaidah- kaidah agama Islam.
Berdasarkan fakta- fakta yang dapat
digali khususnya dari sumber- sumber Belanda ternyata Himayatuddin menggunakan ideology perang
sabil (jihad) untuk memperkuat semangat dan jiwa para pendukungnya.
Kristalisasi nialai- nilai ke Islaman dalam memerangi VOC Belanda yang dianggap zalim
merupakan totalitas dari nilai- nilai syariah, muamalah, tauhid, akidah, akhlak
dan ibadah secara utuh yang dilaksanakan dalam medan perang baik oleh pemimpin
maupun prajurit. Apalagi, dibarisan Sultan Himayatuddin berjuang orang- orang
yang fanatic Islam.
Bahkan nilai- nilai ke Islaman
itu menyinari perjuangan Sultan Himayatuddin. Perwujudan nilai tersebut dalam
perjuangan Himayatuddin tercermin pada diri dan sikap beliau yang tidak pernah
mengeluh atau bahkan menyesal, sekalipun melepas jabatan yang disandangnya
sebagai taruhannya.
Jika dikaitkan dengan falsafah perjuangan “Yinda- yindamo Karo Somanamo Lipu”kita dapat
menggambil contoh dari
Sultan Himayatuddin dimana beliau sangat menjunjung tinggi nilai- nilai keagamaan bahkan beliau rela
melepaskan jabatan yang disandangnya sebagai taruhannya.
Demikian
pula generasi muda dapat mampu menghayati apalagi mengembangkan nilai- nilai keislaman,kejuangan dan kepahlawanan yang
telah di diharmabaktikan
pada generasi terdahulu. maka generasi sekarang harus menghargai dan mengembangkan nilai-
nilai tersebut, khusunya dari mereka yang telah mengorbankan jiwa raganya
kepada nusa dan bangsa seperti dalam falsafah perjuangan Buton’’Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu’’.
Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa setiap generasi adalah anak zamannya
dengan kondisi dan tantangan berbeda- beda. Namun, sebagai suatu bangsa
hubungan dengan generasi terdahulu tidak akan dapat putus.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dalam
kehidupan bermasyarakat, masyarakat Buton telah memiliki falsafah hidup yaitu Falsafah perjuangan yang merupakan landasan kedua Hukum Adat Wolio, dasar hukum yang
dijadikan landasan nilai-nilai, cara berfikir dan sekaligus sebagai sumber
hukum yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Makna-makna hakiki
yang terkandung di dalamnya kemudian terjabar dalam Sara Pataanguna atau
dasar hukum yang empat, yaitu sebagai berikut :
- Yinda-yindamo
arataa somanamo karo
- Yinda-yinamo
karo somanamo lipu
- Yinda-yindamo
lipu somanamo sara
- Yinda-yindamo
sara somanamo agama.
Secara
lebih khusus bahwa falsafah “perjuangan” yaitu salah satunya adalah Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu
berarti lebih mengorbankan diri demi kepentingan semua orang
dalam arti lain korbankanlah kepentigan diri(pribadi/rakyat) atau karo,asalkan
lipu (negara)selamat.
Dalam keadaan normal,setiap individu/rakyat(karo) wajib
dilindungi kepentingan dan keselamatannya.tetapi bila kepentingan yang lebih
tinggi yaitu negara(lipu) terancam keselamatannya,maka kepentingan
individu/rakyat(karo) dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih
tinggi,yaitu negara(lipu). Contoh :
“ Apabila negara dalam keadaan terancam keselamatannya,umpamanya diserang
musuh,baik dari dalam maupun luar,maka rakyat (karo) wajib siap berperang
mengorbankan jiwa raganya demi menyelamatkan keutuhan dan kehormatan negara
(lipu).”
Falsafah
perjungan “Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu”dari
segi ekonomi dapat dilihat dari adanya keberadaan sistem ekonomi Islam yang ada
dalam kehidupan manusia, dimana pengertian Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu
dari segi ekonomi berarti harus berbasis kepentingan orang banyak atau kepuasan kepada kedua belah
pihak, dalam arti antara keduanya tidak saling merugikan, yaitu antara pembeli
dan penjual.
Falsafah
perjuanagan“Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu”
dari segi sosial budaya, maka interaksi antar hubungan
sesama manusia atau masyarakat haruslah dilandasi kepentingan
bersama, walaupun ada perbedaan status,budaya maupun
bahasa dalam lingkungannya.
Dari
segi politik, arti dalam falsafah perjuangan “Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu”
yaitu dalam proses pengambilan kebijakan dalam tatanan pemerintahan harus berlandaskan
kepentingan bersama tidak mementingkan jabatan ataupun tidak membedakan
kasta atau golongan seperti terjadi masa pemerintahan sultan himayatuddin
dimana Beliau tidak membeda-bedakan status,
Sama halnya dalam segi politik masyarakat Buton di mana tidak ada kerugian yang
diterima oleh kedua belah pihak, baik rakyat ataupun pemerintah.
3.2
Saran
Perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dan
komprehensif mengenai sejarah kehidupan Kerajaan dan Kesultanan Buton
hubungannya dengan aplikasi dan nilai-nilai falsafah perjuangan “Yinda-yindamo
Karo Somanamo Lipu” terutama dalam sosial budaya guna memperkaya literatur
pengetahuan kita mengenai kehidupan Buton masa lalu.
DAFTAR
PUSTAKA
Darmawan, M. Yusran. Menyibak Kabut di Keraton Buton. 2008. Respect.
Baubau
Naskah Buton,naskah Dunia”Prosding Simposium internasional IX Pernaskahan
Nusantara”.2009.Respect. Baubau
Schoorl, Pri. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. 2003. Djambatan.
Jakara
Safulin, La Ode, Rustam Awat &
Aris Mahmud. 2009. Akhlak dan Budaya Buton. Bau-Bau.
Sumarsono, S, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. 2008. Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta
Turi, La Ode. 2007. Esensi Kepemimpinan Bhinci-Bhinciki Kuli (Suatu Tinjauan Budaya Kepemimpinan Lokal Nusantara). Khazanah Nusantara. Kendari.
http://www.Google.com
sejarah.kompasiana.com/2011/03/24/bolimo-karo-somanamo-lipu-falsafah-hidup-kesultanan-buton/