CANDI BROBUDUR

Bolimo karo sumanamo lipu

Falsafah hidup Kesultanan Buton ini lahir pada akhir abad ke-16 M, Di masa pemerintahan Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615 M).
Sultan Buton ke-4, La Elangi Dayanu Ikhsanuddin, yang telah sukses membuat UUD Kesultanan Buton yaitu Martabat Tujuh beserta peraturan-peraturan pemerintah lainnya yaitu
Istiadatul-Azali, Mahafani dan Farait, sekaligus berhasil membawa negerinya ke tingkat kehidupan politik, sosial dan budaya yang lebih maju dan berkembang.
Perkembangan selanjutnya adalah timbulnya semangat nasionalisme dan patriotism yang merangsang memenuhi seluruh jiwa raga tiap kesatria negeri dan kalangan rakyat. Dalam situasi dan kondisi demikian, merebaklah semangat cinta tanah air (lipu), agama dan bangsa. Puncak dari semua itu, lahirlah falsafah hidup Kesultanan Buton yang ke-2, terdiri atas 5 (lima) dasar keyakinan dan disusun dengan urut-urutan kepentingan sebagai berikut:


1. Agama (Islam)
2. Sara (pemerintah)
3. Lipu (Negara)
4. Karo (diri pribadi rakyat)
5. Arataa (harta benda)
Falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini menempatkan agama (Islam) pada posisi puncak tertinggi. Ini berarti bahwa agama Islam merupakan satu-satunya sumber hukumtertinggi dalam menyusun sila-sila berikutnya yaitu: tata pemerintahan (sara), mengelola negara (lipu), mengatur kehidupan dan kepentingan orang banyak (karo) dan pengurusan harta benda (arataa). Semuanya itu wajib dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah agama Islam.
Untuk memahami makna yang terkandung dari urut-urutan kepentingan tersebut adalah dengan memulainya dari kepentingan terendah (arataa) sampai kepentingan tertinggi (agama, Islam), yaitu:

1. Amadaki-amadakimo arataa Solana bholi o karo
2. Amadaki-amadakimo karo Solana bholi o lipu
3. Amadaki-amadakimo lipu solana bholi o sara
4. Amadaki-amadakimo sara solana bholi o agama
Artinya:

1. Biarlah rusak harta benda, asal jangan rusak diri (pribadi/rakyat).
2. Biarlah rusak diri (pribadi/rakyat), asal jangan rusak negara.
3. Biarlah rusak negara, asal jangan rusak pemerintah.
4. Biarlah rusak pemerintah, asal jangan rusak agama.
Falsafah hidup tersebut di atas telah menjadi konsensus pemerintah Kesultanan bersama seluruh rakyat, ditempatkan menjelang penutup Undan-Undang Dasat Kesultanan Buton (Martabat Tujuh). Namun, dalam sejarah perkembangannya, istilah-istilah tersebut telah mengalami perobahan sebagai berikut:

1. Yinda-yindamo arataa somanamo karo
2. Yinda-yindamo karo somanamo lipu
3. Yinda-yindamo lipu somanamo sara
4. Yinda-yindamo sara somanamo agama

Yinda-yindamo. Dalam terjemahan bebasnya adalah “biarlah hilang sama sekali”. Sesungguhnya menegaskan ungkapan positifisme dan sifat ksatria sejati, yaitu: rela membuang atau mengorbankan seluruh kepentingan diri sendiri demi untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.
Dan dalam perkembangan selanjutnya, istilah yinda-yindamo itu berubah pula dan dipersingkat dengan bholimo, hingga menjadilah:

1. Bholimo arataa somanamo karo
2. Bholimo karo somanamo lipu
3. Bholimo lipu somanamo sara
4. Bholimo sara somanamo agama.
Perlu dikemukakan bahwa perubahan istilah asli yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yaitu amadaki-amadakimo kemudian menjadi yinda-yindamo dan terakhir menjadi bholimo dan istilah solana bholi berubah menjadi somanamo, penulis belum mendapatkan data akurat kapan mulainya perubahan itu. Menurut dugaan penulis, kemungkinan itu disebabkan perubahan gerak maju dari pola piker masyarakat yang menghendaki serba singkat dan serba cepat. Atau pengaruh bahasa sehari-hari yang lebih populer dalam masyarakat dan tanpa disadari sudah meghilangkan bahasa aslinya sebagai bahasa baku.

Versi lain mengatakan bahwa yinda-yidamo itu sudah dikumandangkan sejak zaman Sultan Murhum Kaimuddin dalam menghadapi serangan pasukan Sultan Ternate, Baabullah, dan seranagn pasukan VOC (Belanda) di wialyah Kulisusu.
A.M. Zahari dalam bukunya Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni jilid 1 halaman 54, mengartikan bholimo dengan “tiada perlu”. Menurut hemat penulis, arti yang lebih tepat dari bholimo itu adalah “tidak usahlah”, tetapi hakikatnya identik dengan “tiada perlu”. Namun, bila diselami lebih mendalam makna positif yang heroismedan patriotisme dalam ungkapan sila-sila tersebut, penulis berpendapat bahwa istilah bholimo lebih tepat diberi pengertian “korbankanlah”. Yaitu: “korbankanlah kepentingan …….”.
Berdasarkan pengertian itu, penjelasan urut-urutan kepentingan ke-5 sila tersebut, adalah:

1). Bholimo arataa somanamo karo, artinya: Korbankanlah kepentingan harta benda asalkan diri (pribadi/rakyat) selamat.
Dalam keadaan normal, setiap harta benda (arataa) baik yang dimiliki masing –masing anggota masyarakat maupun negara wajib dilindungi dan dijaga keselamatannya. Tetapi, apabila kepentingan yang lebih tinggi yaitu karo (diri pribadi/rakyat) terancam keselamatannya, maka harta benda, baik milik perorangan maupun milik masyarakat atau negara wajib dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih timggi, yaitu diri (pribadi/rakyat). Contoh:
• Pembangunan Benteng Keraton Buton telah mengorbankan banyak harta benda dan yenaga rakyat, demi untuk melindungi kepentingan yang lebih tinggi, yaitu keselamatan rakyat, negara, pemerintah dan agama.

2). Bholimo Karo Somanamo Lipu, artinya: Korbankanlah kepentingan diri (pribadi/rakyat) atau karo, asalkan lipu (negara) slamat.
Dalam keadaan normal, setiap individu-rakyat (karo) wajib dilindungi kepentingan dan keselamatannya. Tetapi bila kepentingan yang lebih tinggi yaitu negara (lipu) terancam keselamatannya, maka kepentingan individu-rakyat (karo) dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih tinggi, yaitu negara (lipu). Contoh:
• Apabila negara dalam keadaan terancam keselamatannya, umpamanya diserang musuh, baik dari dalam maupun luar, maka rakyat (karo) wajib siap berperang mengorbankan jiwa raganya demi menyelamatkan keutuhan dan kehormatan negaranya (lipu).

3). Bholimo lipu somanamo sara, artinya: Korbankanlah kepentingan negara (lipu) asalkan pemerintah (sara) selamat.
Dalam keadaan normal, seluruh wilayah negara (lipu) wajib dipelihara dan dijaga keutuhan dan keselamatannya. Tetapi bila kepentingan pemerintah (sara) terancam keselamatannya, umpamanya karena terjadi peperangan dan ternyata kekuatan musuh terlalu besar, maka bagian-bagian wilayah negara (lipu) boleh ditinggalkan untuk dikuasai musuh. Dalam situasi demikian, yang wajib diselamatkan adalah kepentingan sara (pemerintah) yang berada di dalam Benteng Keraton Buton, karena selama sara (pemerintah) masih ada, berarti negara belum ditaklukkan. Untuk mempertahankan keselamatan pemerintah, semua kekuatan pasukan seluruh medan pertempuran ditarik ke pusat pertahanan terakhir, yaitu dalam Benteng Keraton Buton. Dari sanalah diatur siasat baru seperti melakukan perang gerilya atau meminta bantuan dari negara sahabat untuk merebut kembali eilayah-wilayah yang ditinggalkan tadi.
Sila ketiga filsafah kesultanan Buton ini, nampaknya tetap berlaku di zaman modern ini. Bahkan pernah dipraktekkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Ketika Kota Jakartasebagai ibukota Republik Indonesia tak dapat lagi dipertahankan dan keselamatan pemerintah pusat dalam kondisi sangat rawan, maka Jakarta ditinggalkan dan dibiarkan diduduki dan dikuasai Belanda sepenuhnya. Pemerintah RI berhijrah ke Yogyakarta. Dan pada saat Yogyakarta diduduki lagi oleh Belanda dalam tahun 1947 dan Presiden beserta Wakil Presiden ditawan dan diasingkan ke Bangka, Bung Karno segera mendelegasikan jabatan Presiden Indonesia kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu sementara bereda di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Dengan taktik diplomatic demikian, maka pemerintah de facto RI tetap ada dan Belanda hanya menagkap dan mengasingkan pribadi/fisik Soekarno dan Hatta saja. Sementara itu perang gerilya terus digencarkan, bersamaan dengan kegiatan bidang diplomatic. Wilayah demi wilayah kembali dikuasai tentara pejuang kemerdekaan RI. Dan kemajuan bidang diplomatic mencapai puncaknya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag negeri Belanda, yang menghasilkan pengakuan Kemerdekaan Negara RI oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

4). Bholimo Sara Somanamo Agama, artinya: Korbankanlah kepentingan sara atau pemerintah asalkan agama selamat. Atau, biarlah kepentingan sara dikorbankan demi menyelamatkan agama Allah (Islam).
Di sinilah titik puncak tertinggi dari falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini. Betapa pentingnya unsure pemerintah disamping unsure-unsur wilayah (lipu) dan rakyat (karo). Walaupun demikian, apabila pemerintah, seseorang atau bersama-sama diiketahui telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hokum, lebih-lebih hokum agama, maka kepada mereka itu wajib dikorbankan/dihukum demi menyelamatkan agama Allah (Islam).
Dalam sejarah pemerintahan Kesultanan Buton , hal ini dapat disaksikan atas diri Sultan Buton ke-8, La Cila Maradan Ali (Gogoli yi Liwoto), karena tingkah lakunya yang bertententangan bahkan akan merusak sendi-sendi agama Islam. Beliau dipecat dari jabatannya sebagai Sultan dan dijatuhi hukuman mati (diGologi) denagn jalan lehernya dililitkan tali kemudian kedua ujung tali itu ditarik ke kiri dank e kanan hingga wafat. Pelaksanaan hukuman mati ini di Liwuto Makasu (Pulau Makassar) yang berhadapan dengan kota Bau-Bau.
Di sinilah kita menyaksikan bagaimana pemerintah kesultanan Buton secara konsisten, melaksanakan hokum yang mereka telah terapkan sendiri tanpa pandang bulu. Seorang Sultan pun bila telah melanggar peraturan yang berlaku wajib dihukum sesuai beratnya pelanggaran yang diperbuatnya. Mereka sangat teguh keyakinan dari pendiriannya bahwa melindungi seseorang dari ancaman hukuman berarti membiarkan berlangsungnya pelecehan hukum. Dan hal itu akan melahirkan keresahan dalam masyarakat (karo) dan merupakan awal kebinasaan negeri (lipu).
Adalah sangat menarik untuk disimak dan diteliti bahwa falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini, baik isi maupun urutan susunan sila-silanya identik dengan Pancasila Republik Indonesia. Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno, sebagai negarawan telah berhasil melahirkan bayi Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 pernah berucap bahwa beliau bukanlah pencipta Pancasila. Karena sesungguhnya Pancasila itu sudah lama berada di bumi Indonesia dan beliau hanya menggali, menemukan, dan menyusunnya seperti yang kita lihat sekarang ini. Apakah Pancasila yang dimaksud Bung Karno itu adalah falsafah hidup Kesultanan Buton II yang telah dikandung Bumi Buton kemudian dilahi rkan dilahirkan abad ke-16 m, 410 tahun yang lalu? Hal ini tentunya memerlukan penelitian para ilmuan Indonesia.

Bandingkan:
Falsafah Hidup Kesultanan Buton II
(Akhir abad ke-16) Pancasila Republik Indonesia
(Tahun 1945 M)

1. Agama (Islam) 1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Sara (Pemerintah Yang Adil dan Beradab) 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Lipu (Negara Yang Utuh dan Bersatu) 3. Persatuan Indonesia
4. Karo (Diri/Pribadi-Rakyat) 4. Kerakyatan Yag Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Arataa (Harta benda harus dilindungi dan berguna bagi keprntinagn umum) 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rkyat Indonesia
Sebagai penutup dari uraian singkat ini, perlu perlu dikemukakan bahwa filsafah hidup Kesultanan Buton tersebut sampai sekarang ini oleh masyarakat Wolio-Buton masih tetap dijadikannya sebagai landasan moral dan tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dan di zaman negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, falsafah hidup Kesultanan Buton itu tentu merupakan kekayaan Khazanah Budaya Bangsa yang tak ternilai hargannya.
UKURAN BAIK DAN BURUK

WACANA KEILMUWAN
SUMBER-SUMBER PEMBENTUKAN ETIKA: UKURAN BAIK DAN BURUK

Oleh: ARI SATRIA

“Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan memberinya jalan keluar dalam setiap kesusahan, dan Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak ia perkirakan”

1. Pendahuluan
Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Banyak orang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dipandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa, dipandang buruk oleh yang lain. Dipandang baik pada waktu ini, dinilai buruk pada waktu lain. Ukuran baik dan buruk tidak dapat dipisahkan oleh etika. Karena etika menurut ahmad Amin adalah:
“Ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia”

Etika menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk. Etika tidak dapat menjadikan manusia baik, tetapi dapat membuka matanya untuk melihat baik dan buruk. Maka etika tidak berguna bagi kita jika kita tidak mempunyai kehendak untuk menjalankan perintah-perintah Nya dan menjauhi larangan-larangan Nya. Di dalam beberapa buah kamus dan ensiklopedi diperoleh pengertian baik dan buruk. Baik, dalam bahasa arab “khair,hasan” , dan dalam bahasa inggris “good” . Menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, baik adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapakan, yang memberikan nilai kepuasan. Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, sesuatu dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Jadi, sesuatu yang dikatakan baik bila ia dihargai secara positif.
Sedangkan pengertian baik menurut Ethik adalah sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”. Lebih dalam Rahmat Djatnika menyatakan:
“Tujuan dari masing-masing sesuatu, walaupun berbeda-beda, semuanya akan bermuara kepada satu tujuan yang dinamakan baik, semuanya mengharapkan mendapatkan yang baik dan bahagia, tujuan yang akhir yang sama ini dalam ilmu Ethik “Kebaikan Tertinggi”, yang dengan istilah lainnya disebut Summum Bonum atau bahasa arabnya Al-Khair al-Kully. Kebaikan tertinggi ini bisa juga disebut kebahagian yang universal atau Universal Happiness.

Ia juga mengatakan bahwa kebaikan itu terletak pada dua hal:
a. Pada adanya kemauan, will, iradah atau niat
b. Pada praktek, action atau amaliah
Sedangkan Menurut Plato, ahli filsafat Yunani kuno, yang baik itu ialah yang ada ditengah-tengah antara dua ujung, antara ujung awal dan ujung akhir. Sebelum ujung awal adalah kurang dan sesudah ujung akhir adalah terlalu. Firman Allah:


“Orang-orang yang membelanjakan hartanya tidak melampaui batas (Royal-boros) dan tidak pula kikir, tetapi adalah tengah-tengah antara keduanya”.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-hadis. Kebaikan dalam pandangan islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia. Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolah ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ihklas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan niat yang ikhlas sangat penting. Rasulullah SAW bersabda:


“Segala perbuatan selalu mempunyai niat. Dan perbuatan tersebut dinilai sesuai dengan niatnya”. (H.R. Bukhari-Muslim).
Penentuan baik atau buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Islam juga memperhatikan criteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Berikut karakteristik Etika Islam:
a. Etika islam mengajarkan dan menuntut manusia pada tingkah laku yang baik dan menjauhkan dar tingkah laku yang buruk.
b. Etika islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatun, didasarkan pada ajaran Allah SWT.
c. Etika islam beersikap universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia.
d. Etika islam mengatur dan mengarahkan fitrahmanusia ke jenjang akhlak yangluhur dan meluruskan perbuatanmanusia.
Sedangkan buruk, dalam bahasa arab “syarr” , dalam bahasa inggris “bad ”. Menurut New Twentieth Century Dictionary of English Language, buruk adalah tidak baik, tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standard, kurang dalam nilai, dan tak mencukupi. Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, buruk adalah yang tercela, lawan baik, pantas, bagus dan sebagainya. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
Jadi dari beberapa definisi diatas, dapat dikatakan bahwa sesuatu yang dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan. Atau ndengan kata lain sesuatu yang dinilai positif oleh orang yang menginginkannya. Definisi kebaikan tersebut terkesan anthropocentris. Sedang buruk apa yang dinilai sebaliknya. Disini nyata sekali betapa relatifnya pengertian itu, karena tergantung pada penghargaan manusia masing-masing. Jadi nilai baik atau buruk menurut pengertian di atas bersifat subyektif, karena tergantung pada individu yang menilainya.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan erat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu : Hedonisme , utilitarianisme , vitalisme , sosialisme, religiousme dan humanisme.
Sementara itu Asmaran As menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat, yaitu: adat kebiasaan, kebahagiaan (Hedonism), yang terdiri dari Kebahagian Diri (Eguistic Hedonism) dan Kebahagiaan bersama (Universalistic Hedonism) , intuisi (Intuition), dan evolusi (Evolution) . Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu: adat-istiadat, hedonisme, utilitarianisme, dan evolusi. Sedang Abuddin Nata menyimpulkan menjadi: aliran adat-istiadat (sosialisme) , hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousme, dan evolusisme. Beberapa pendapat tersebut tampak saling melengkapi sehingga dapat disimpulakan bahwa yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk adalah: insting (Naluri), hati nurani (Suara batin), akal (Pikiran Sehat), lingkungan dan adat-istiadat, dan pendidikan.

4. Akal (Pikiran Sehat)
Akal sebagai organ yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Dengan akalnya, manusia yang lemah dapat menundukkan dan mengendalikan segala hal dan memecahkan berbagai masalah. Dengan akalnya pula, manusia di jagad ini menerbitkan kesengsaraan, kerusakan, kebinasaan, kehancuran, dan mengakibatkan masalah dimana-mana. Semua daya upaya, ikhtiar dan usaha manusia, adalah hasil dari akalnya. Maka kian tinggi kecerdasan manusia, kian banyak dan tinggi daya upaya, ikhtiar dan usaha yang dapat dicapai oleh akalnya. Sehingga dengan akalnya, manusia bisa menganalisa, berfikir, dan menyimpulkan pendapatnya.
Akal dalam bahasa Inggris “mind” , sedang dalam bahasa Arab “’aqlu”. Menurut Ahmad Amin, hukum akhlak ialah memberi nilai pada perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya. Biasanya, manusia itu tidak tercela atas perbuatan yang ia lakukan dengan niat baik meskipun buruk akibatnya, akan tetapi tercela apabila ia sanggup menyelidiki sebelumnya akibat perbuatannya. Disini terletak peranan akal dalam mempertimbangkan buruknya suatu perbuatan yang akan dilakukan. Perbuatan dinilai baik jika menurut pikirannya bahwa perbuatan itu baik dan dinilai buruk atau tercela jika melakukan perbuatan yang diputuskannya buruk.
Tetapi akal manusia itu hanya merupakan salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan dan keburukan. Keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan pengetahuannya. Oleh karena itu, keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif.
Akal tidak bisa dipisahkan dengan hawa. Mereka berhubungan sangat erat. Hawa membawa sesat dan tidak berpedoman, sedangkan akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Oleh karena itu, perlu diselidiki dan diawasi manakah perintah hawa dan manakah perintah akal. Penyelidikan ini sangat sulit, berkehendak kepada ilmu hakikat yang dalam. Garis besar yang perlu diperhatikan, ialah bahwa akibat yang dikendaki akal itu ialah akibat mulia dan utama, tetapi jalannya sukar.
Menurut Ghazali, tidak ada yang baik ataupun yang buruk kecuali setelah adanya dalil syariat, begitu pula tidak ada ganjaran ataupun siksaan sebelum adanya keterangan dari syariat. Dan walaupun demikian manusia harus menimbang dengan akalnya terhadap satu kebaikan atau keburukan karena bentuk syariat Islam itu sendiri adalah buat menuju kepada jalan yang lurus. Maka jika seandainya syariat menyatakan bahwa zina itu baik maka perasaanpun akan menetapkan baiknya. Dan jika syariat menetapkan adanya kejelekan zina itu maka perasaan akan menetapkan jeleknya, sehingga memang benarlah jika syariat itu sendiri berjalan sesuai dengan akal, dan factor akal harus bisa mempertimbangkan baik dan buruk dan dapat diperkuat dengan dalil syariat.
Menurut Mudlor Achmad, pusat akal mempunyai berbagai aspek kemampuan, yaitu: kemampuan untuk mengenal sesuatu, mengusahakan sesuatu, dan menerima saran qalbu, maka ia dibagi menjadi tiga:
a. Akal Azizi: Gunanya untuk mengadakan pembedaan antara berbagai macam benda. Mengarah kepada objek bukan rasa (idiil:kejiwaan/immanent)
b. Akal Kasabi: Gunanya untuk melekukan sesatu usaha. Menuju kearah objek rasa (empirie:kenyataan/realiteit)
c. Akal Atori: Merupakan tempat hidayat Ilahi dan bibit iman: “Wa hudan wa mau’idhotan lillmuttaqien”. Menjurus kepada obyek luar rasa (transcendent)
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan.
5. Lingkungan dan Adat-Istiadat
Lingkungan artinya suatu yang melingkungi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan ialah tanah dan udaranya, lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa. Salah seorang ahli pena berkata: “Ahli sejarah sejak masa dahulu telah menerangkan bahwa tempat-tempat dan keadaan dalam suatu negeri mempunyai pengaruh yang besar dalam kemajuan bangsa.”
Lingkungan ini besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia, kepribadiannya, mental, dan akhlaknya. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, secara langsung atau tidak langsung, maka tempat, situasi dengan keadaan lingkungan tersebut akan memberikan pengaruh yang baik kepada setiap orang yang ada dalam lingkungannya, dan sebaliknya orang yang hidup dalam suatu lingkaran yang buruk dan dalam lingkungan yang terdapat kemaksiatan, bagaimanapun keadaan masyarakat lingkungannya akan mempengaruhi terhadap penduduk yang ada didalamnya. Dia juga akan terbawa buruk walaupun dia sendiri umpamanya tidak melakukan keburukan. Hal demikian biasanya lambat laun akan mempengaruhi cara hidup orang tersebut.
Karena itu pula Islam mengajarkan agar memilih tempat tinggal yang baik untuk tempat tinggal berumah tangga. Sebelum bertempat tinggal, supaya meneliti apakah lingkungannya cocok untuk berumah tangga atau tidak. Jangan sampai bertempat tinggal di dalam lingkungan yang akan membawa pengaruh buruk bagi kita dan anak-anak kita.
Rasulullah bersabda:


Artinya: (Carilah) tetangga sebelum berumah tangga, dan (Carilah) teman sebelum berpegian dan (Carilah) bekal seperjalanan.
Disamping lingkungan tetangga, lingkungan personalia orang-orangnya, maka lingkungan situasi dalam arti yang seluas-luasnya akan memberikan bekasan pengaruh pada orang yang tinggaldi dalam lingkungan itu; baik lingkungan alamiah, lingkungan iklimnya, lingkungan intelektualnya, lingkungan keagamaannya, lingkungan ekonominya, semua keadaan situasi aspek-aspek kehidupan manusia dan alamnya, akan memberikan pengaruh bagi kehidupan orang yang ada di dalam lingkungannya tersebut.
Suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut “Adat Kebiasan”. Kebanyakan pekerjaan manusia jelmaan dari arah adat kebiasaan, seperti berjalan, berlari, cara berpakaian, berbicara, dan lain sebagainya. Segala perbuatan, baik atau buruk, menjadi adat kebiasaan karena dua factor: “Kesukaan hati kepada suatu pekerjaan dan menerima kesukaan itu dengan melahirkan suatu perbuatan, dan dengan diulang-ulang secukupnya”.
Kalau kebiasan telah terbentuk, ia mempunyai ketentuan sifat, diantaranya:
a. Memudahkan perbuatan yang dibiasakan
b. Menghemat waktu dan perhatian
James berpandapat tentang adat kebiasaan, yakni:
“Yang memudahkan bagi buruh logam bekerja dalam tambang yang gelap, bagi penyelam dalam pekerjaan mereka didalam lautan yang bergelombang besar, bagi pelaut dalam menghadapi angin taufan yang kencang dan petani dalam sawah-sawahnya menderita panas terik dan dingin yang menyakiti…”

Untuk merubah adat-kebiasan yang buruk harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Berniatlah dengan sungguh-sungguh tanpa ada keraguan. Jangan lihat lagi kebelakang dengan melihat kebiasan-kebiasan lama. Azamkan dengan kuat pada niat yang baru.
b. Jangan berhenti hingga hasil dari kebiasan baru bisa terlihat dan dihasilkan.
c. Carilah waktu yang baik untuk melaksanakan niatmu, dan ikutilah segala gerak jiwa yang menolong untuk mewujudkan pelaksanaan tersebut, karena kesukaran itu bukan dalam niat tetapi di dalam pelaksanaannya.
d. Kuatkan dan peliharalah keimanan agar selalu hidup dalam jiwa, yakni dengan membiasakan melakukan hal-hal kecil yang baik yang selalu berkelanjutan, untuk mengekang hawa nafsu.
Dalam segala tempat dan waktu, manusia itu terpengaruh oleh adat-istiadat golongan dan bangsanya karena hidup di dalam lingkungan mereka. Mereka melihat dan mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu perbuatan dan menjahui perbuatan lainnya, sedang kekuatan memberi hukum kepada sesuatu belum tumbuh begitu rupa, sehingga mereka mengikuti kebanyakan perbuatan yang mereka lakukan atau mereka singkiri.
Perintah-perintah adat-istiadat dilakukan dan larangan-larangan disingkiri karena beberapa jalan:
a. Pendapat umum, karena memuji pengikut-pengikut adat-istiadat dan mengejek orang-orang yang menyalahinya.
b. Keyakinan yang diturunkan turun-temurun dari hikayat-hikayat dan khufarat-khufarat yang menganggap bahwa syetan dan jin akan membalas dendam kepada orang-orang yang menyalahi perintah-perintah adat-istiadat dan malaikat akan memberi pahala bagi yang mengikutinya.
c. Beberapa upacara, keramaian, pertemuan dan sebagainya yang menggerakkan perasaan dan yang mendorong bagi para hadhirin untuk mengikuti maksud dan tujuan upacara itu, seperti mengikuti adapt-istiadat kematian, pengantin, ziarah kubur, dan upacara lain-lainnya.
Tiap suku atau bangsa mempunyai adat-istiadat tertentu yang diwariskan dari nenek moyangya. Dipandang baik bagi orang yang mengikutinya dan dipandang buruk bagi siapa yang melanggarnya. Oleh karena itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik bila ia sesuai dengan adat-istiadat yang ada di masyarakat dan dikatakan buruk bila ia menyalahinya. Jika diselidiki secara seksama adat-istiadat itu tidak dapat sepenuhnya digunakan sebagai ukuran untuk menetapkan buruk-baiknya perbuatan manusia, karena ada perintah atau larangan yang berdasarkan adat kebiasaan tidak dapat diterima oleh akal yang sehat.
Adat-istiadat itu tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran dan pertimbangan, karena sebagian dari perintah-perintahnya tidak masuk akal dan setengahnya merugikan. Dan banyak perbuatan-perbuatan yang terang salahnya bagi kita, tetapi lain bangsa menyatakan kebaikannya; seperti menanam anak perempuannya hidup-hidup yang dilakukan oleh sebagian suku bangsa Arab pada zaman Jahiliyah. Mereka menganggap perbuatan itu tidak tercela dan tidak salah. Setelah datang agama Islam, maka ia mencegah mereka dari adat- istiadat itu dan menjelaskan akan kesalahannya.
Pada masa sekarang, kita tidak dapat membenarkan adat-istiadat semacam itu dan bahkan mengingkarinya. Dan bili adat-istiadat itu banyak salahnya, maka tidak tepat dijadikan ukuran baik dan buruk bagi perbuatan-perbuatan kita.
Sikap dan prilaku manusia yang menjadi akhlak sangat erat sekali dengan kebiasaannya. Seperti halnya pengertian akhlak yang dikemukakan oleh prof. Dr. Ahmad Amin bahwa akhlak itu adalah membiasakan kehendak. Banyak sebab-sebab yang menjadikan adat kebiasaan, contohnya karena lingkungan tempat dia bergaul yang membawa dan memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupannya sehari-hari, dsb. Ada dua faktor penting yang melahirkan adat kebiasaan itu:
a. Karena adanya kecenderungan hati pada perbuatan itu, dia merasa senang untuk melakukannya karena dia tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut.
b. Diperturutkannya kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang, sehingga menjadi biasa.
Diantara kedua factor tersebut, yang kedualah yang sangat menentukan. Sebab walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tapi apabila tidak ada kesempatan untuk melakukannya maka kecenderungan hati itu tidak akan diturutkan. Sebaliknya mungkin asalnya tidak ada kecendeerungan hati untuk melakukannya, tetapi selalu dihadapkan agar melakukannya, awalnya mungkin terpaksa tapi lama-lama jadi terbiasa dan kebiasaan itu akan memberikan pengaruh kepada perasan hatinya karena terbiasa.
Apabila adat kebiasaan telah lahir pada seseorang atau masyarakat, maka ia mempunyai sifat-sifat antara lain:
a. Mudah mengerjakan pekerjaan yang sudah diadatkan itu.
b. Kurang atau tidak memakan waktu dan perhatian dari waktu sebelum diadatkannya
Cara merubah adat kebiasaan, menurut para ahli Ethika yakni dengan:
a. Harus ada niat yang teguh dan kemauan yang keras untuk mengganti adat yang lama dengan adat yang baru
b. Harus ada keyakinan akan kebaikan adapt yang baru
c. Daya penolak yang ada terhadap adat yang lama dan daya penarik/pendorong terhadap adat yang baru harus selalu dihidup-hidupkan
d. Harus selalu mempergunakan kesempatan yang baik untuk melaksanakan adat yang baru itu
e. Harus berusaha janga sekali-kali menyalahi adat yang baru