DEFINISI PENDIDIKAN
Dalam perspektif teoritik,
pendidikan seringkali diartikan dan dimaknai orang secara beragam,
bergantung pada sudut pandang masing-masing dan teori yang dipegangnya.
Terjadinya perbedaan penafsiran pendidikan dalam konteks akademik merupakan
sesuatu yang lumrah, bahkan dapat semakin memperkaya khazanah berfikir manusia
dan bermanfaat untuk pengembangan teori itu sendiri. Tetapi untuk kepentingan kebijakan nasional,
seyogyanya pendidikan dapat dirumuskan secara jelas dan mudah dipahami
oleh semua pihak yang terkait dengan pendidikan, sehingga setiap orang dapat
mengimplementasikan secara tepat dan benar dalam setiap praktik pendidikan.Untuk mengatahui definisi
pendidikan dalam perspektif kebijakan, kita telah memiliki rumusan formal
dan operasional, sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS, yakni
:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi di
atas, saya menemukan 3 (tiga) pokok pikiran utama
yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) usaha sadar dan terencana; (2) mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan
potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Di bawah ini akan dipaparkan secara
singkat ketiga pokok pikiran tersebut.
1. Usaha sadar dan
terencana.
Pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana
menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan
secara matang (proses kerja intelektual). Oleh karena itu, di setiap
level manapun, kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan,
baik dalam tataran nasional (makroskopik), regional/provinsi dan
kabupaten kota (messoskopik), institusional/sekolah (mikroskopik) maupun
operasional (proses pembelajaran oleh guru).
Berkenaan dengan pembelajaran (pendidikan
dalam arti terbatas), pada dasarnya setiap kegiatan pembelajaran
pun harus direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007.
Menurut Permediknas ini bahwa perencanaan proses pembelajaran
meliputi penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang
memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar
(KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar,
alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil
belajar, dan sumber belajar.
2. Mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
dirinya
Pada pokok pikiran yang kedua ini saya melihat adanya pengerucutan istilah
pendidikan menjadi pembelajaran. Jika dilihat secara sepintas mungkin
seolah-olah pendidikan lebih dimaknai dalam setting pendidikan formal semata
(persekolahan). Terlepas dari benar-tidaknya pengerucutan makna ini, pada
pokok pikiran kedua ini, saya
menangkap pesan bahwa pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang
bercorak pengembangan (developmental) dan humanis, yaitu berusaha
mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan yang bergaya
behavioristik. Selain itu, saya juga melihat ada dua kegiatan
(operasi) utama dalam pendidikan: (a) mewujudkan suasana belajar,
dan (b) mewujudkan proses pembelajaran.
a. Mewujudkan
suasana belajar
Berbicara tentang mewujudkan suasana
pembelajaran, tidak dapat dilepaskan dari upaya menciptakan lingkungan
belajar, diantaranya mencakup: (a) lingkungan fisik, seperti:
bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang
guru, ruang BK, taman sekolah dan lingkungan fisik lainnya; dan (b) lingkungan
sosio-psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja
sama, ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan dan
aspek-aspek sosio–emosional lainnya, lainnya yang memungkinkan peserta didik
untuk melakukan aktivitas belajar.
Baik lingkungan fisik maupun lingkungan
sosio-psikologis, keduanya didesan agar peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan segenap potensinya. Dalam konteks pembelajaran yang dilakukan guru,
di sini tampak jelas bahwa keterampilan guru dalam mengelola kelas (classroom
management) menjadi amat penting. Dan di sini pula, tampak bahwa peran
guru lebih diutamakan sebagai fasilitator belajar siswa.
b. Mewujudkan proses
pembelajaran
Upaya mewujudkan suasana pembelajaran lebih
ditekankan untuk menciptakan kondisi dan pra kondisi agar siswa
belajar, sedangkan proses pembelajaran lebih mengutamakan pada upaya bagaimana
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam konteks
pembelajaran yang dilakukan guru, maka guru dituntut untuk dapat
mengelola pembelajaran (learning management), yang mencakup
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran (lihat Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007
tentang Standar Proses). Di sini, guru lebih berperan sebagai agen
pembelajaran (Lihat penjelasan PP 19 tahun 2005), tetapi dalam hal ini saya
lebih suka menggunakan istilah manajer pembelajaran, dimana guru
bertindak sebagai seorang planner, organizer dan evaluator
pembelajaran)
Sama seperti dalam mewujudkan suasana
pembelajaran, proses pembelajaran pun seyogyanya didesain agar
peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensi yang
dimilikinya, dengan mengedepankan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered)
dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning),
ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar.
3. Memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga ini, selain
merupakan bagian dari definisi pendidikan sekaligus menggambarkan
pula tujuan pendidikan nasional kita , yang menurut hemat
saya sudah demikian lengkap. Di sana tertera tujuan yang berdimensi
ke-Tuhan-an, pribadi, dan sosial. Artinya, pendidikan yang dikehendaki
bukanlah pendidikan sekuler, bukan pendidikan individualistik, dan bukan pula
pendidikan sosialistik, tetapi pendidikan yang mencari keseimbangan
diantara ketiga dimensi tersebut.
Jika belakangan ini gencar disosialisasikan
pendidikan karakter, dengan melihat pokok pikiran yang ketiga dari definisi
pendidikan ini maka sesungguhnya pendidikan karakter sudah implisit
dalam pendidikan, jadi bukanlah sesuatu yang baru. Selanjutnya tujuan-tujuan
tersebut dijabarkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan di bawahnya (tujuan
level messo dan mikro) dan dioperasionalkan melalui tujuan pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Ketercapaian
tujuan – tujuan pada tataran operasional memiliki arti yang
strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Berdasarkan uraian di atas, kita
melihat bahwa dalam definisi pendidikan yang tertuang dalam UU No.
20 Tahun 2003, tampaknya tidak hanya sekedar menggambarkan apa pendidikan
itu, tetapi memiliki makna dan implikasi yang luas tentang siapa sesunguhnya
pendidik itu, siapa peserta didik (siswa) itu, bagaimana seharusnya
mendidik, dan apa yang ingin dicapai oleh pendidikan.
Begitulah pemahaman sederhana saya tentang
apa itu pendidikan, dalam perspektif kebijakan. Saya berharap kiranya Anda
dapat melengkapi dan menyempurnakan pemahaman saya ini.