CANDI BROBUDUR

PROBLEM BASED LEARNING



Esensi Problem Based Learning (PBL)  menurut Arends (2008: 41) ialah menyuguhkan situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan sehingga pendekatan Problem Based Learning menuntut kreativitas seorang guru untuk memilih situasi yang menantang siswa yang memungkinkan siswa termotivasi dalam perumusan masalah, pengajuan pertanyaan dan pemecahan masalah yang berkualifikasi tinggi yang dapat diselesaikan.

Ali, et al. (2010: 68) menyatakan bahwa “in the problem based learning model the students’ turn from passive listeners of information receivers to active, free self-learner and problem solvers”, pernyataan tersebut bermakna bahwa PBL merupakan sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa dari penerima informasi pasif menjadi aktif, pelajar yang bebas dan orang yang mampu menyelesaikan masalah.
Menurut Roh (Ajai, Imoko & O’kwu, 2013: 132) “with problem-based learning (PBL)  learning begins with a problem to solve, and the problem is posed in such a way that the students need to gain new knowledge before they can solve the problem”. Makna dari pendapat tersebut ialah PBL dimulai dengan sebuah masalah dan dari masalah tersebut di posisikan sedemikan rupa sehingga siswa perlu mendapatkan pengetahuan baru sebelum mereka dapat menyelesaikannya.
Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa akan mudah memahami dan mengingat ketika siswa bisa melihat hubungan antara sesuatu yang dipelajari dengan keeseharian, menurut Delisle (1997: 8) menyatakan bahwa “problem base learning deals with problem that are close to real life situation as possible”, pernyataan tersebut bermakna bahwa pembelajaran berbasis masalah berhubungan dengan masalah yang sangat dekat dengan situasi sehari-hari.
Pembelajaran berbasis masalah memberikan kepada siswa mempelajari materi akademis dan keterampilan mengatasi masalah dengan terlibat di berbagai situasi kehidupan nyata, pembelajaran dengan cara ini sesuai dengan NCTM (2000: 335) “most mathematical concept or generalizations can be effectively introduced using a problem situation”. Pernyataan tersebut memberikan makna bahwa sebagian besar konsep atau generalisasi dapat diperkenalkan efektif melalui pemberian masalah.
Pembelajaran matematika dengan pembelajaran berbasis masalah memperkenalkan siswa dengan masalah autentik sehingga membantu siswa mengidentifikasi masalah, memahami masalah, dan menyelesaikannya sehingga pada akhirnya memperoleh pengetahuan baru. Masalah yang ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari digunakan sebagai objek untuk mempelajari suatu materi pelajaran. Seperti diungkapkan Jonassen, et al (Tan, 2009: 175)
Problem-based learning (PBL) is an instructional method that adresses the complex challenges that students will face in the future by asking students to tackle complex, ill-structured real-world problems. PBL proposes that learning experiences are built on the interdependent attributes of meaningful learning including authentic, intentional active, constructive, and cooperative learning
Pengertian PBL yang demikian maka pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pengajaran instruksional yang sangat kompleks, membahas bahwa siswa akan menghadapi tantangan dimasa depan dengan meminta siswa untuk mengatasi masalah tersebut  dan dengan disajikannya masalah, siswa akan memecahkan masalah tersebut dan memperoleh pengetahuan serta menjadikan pembelajaran tersebut bermakna.
Arends (2008: 52) menyatakan PBL didasarkan pada premis bahwa situasi bermasalah yang membingungkan atau tidak jelas akan membangkitkan rasa ingin tahu siswa sehingga membuat mereka tertarik menyelidiki. Berdasarkan hal tersebut pemilihan masalah menjadi sangat penting, masalah yang digunakan dalam pembelajaran berbasis masalah menurut Tatang Herman  (2007:  49) terdiri atas 2 jenis yakni masalah terbuka atau open endeed (Ill Structured) dan masalah terstruktur (Well Structured). Menurut Mayer & Wittrock (Eggen & Kauchak, 2012: 313) masalah terstruktur merupakan masalah dengan satu solusi yang benar dan metode tertentu untuk menemukannya. Dalam pembelajaran berbasis masalah menurut Savery & Duffy  (2001: 11) masalah digunakan untuk meraih atau menemukan konsep dalam pembelajaran dan masalah yang digunakan merupakan masalah yang nyata.
Menurut Tan (2009: 9) langkah dalam pembelajaran berbasis masalah ialah “(1) meeting the problem; (2) problem analysis and generation of learning issues; (3) discovery and reporting; (4) solution presentation and reflection; and (5) overview, integration, and evaluation, with self-directed learning bridging one stage and the next. Tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah ialah (1) menemukan masalah; (2) menganalisis masalah; (3) penemuan dan pelaporan; (4) mempresentasikan penyelesaian masalah dan refleksi; (5) overview, integrasi dan evaluasi, dengan melatih belajar secara mandiri. Menurut  Arends (2008: 57) fase dalam melaksanakan pembelajaran berbasis masalah ialah: (1) memberikan orientasi tentang permasalahan pada siswa; (2) mengorganisasikan siswa untuk meneliti; (3) membantu investigasi mandiri dan kelompok; (4) mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit; (5) menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Sedangkan menurut Eggen & Kauchak (2012: 311) fase dalam melaksanakan pembelajaran ini ialah: (1) mereview dan menyajikan masalah; (2) menyusun strategi; (3) menerapkan strategi; (4) membahas dan mengevaluasi hasil. Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah memliki beberapa fase yakni: (1) orientasi pada masalah; (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar; (3) membantu penyelidikan mandiri maupun kelompok; dan  (4) evaluasi.
Peran guru dalam PBL selain menyodorkan berbagai masalah autentik ialah memfasilitasi penyelidikan siswa dan mendukung pembelajaran siswa (Arends & Kilcher, 2010: 327). Hal ini menggambarkan guru sebagai fasilitator, mediator mengorganisasi kegiatan pembelajaran dan menyediakan scaffolding agar siswa dapat termotivasi dan memiliki sifat positif.
Keunggulan pembelajaran berbasis masalah menurut Warsono & Hariyanto (2013: 152) adalah sebagai berikut.
1)        Siswa akan terbiasa menghadapi masalah dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran di kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang ada dalam kehiduan sehari-hari (real world).
2)        Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya.
3)        Makin mengakrabkan guru dan siswa.
4)        Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan siswa melalui eksperimen hal ini juga membiasakan siswa dalam menerapkan metode eksperimen.

Lebih lanjut kelemahan pembelajaran berbasis masalah menurut Wina Sanjaya (2013: 221) sebagai berikut.
1)   Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari  sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2)        Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Sedangkan kelemahan pembelajaran berbasis masalah menurut Djamilah Bondan Widjajanti (2011: 404) ialah mengatasi dampak keheterogenan, baik pada aspek kemampuan awal, tingkat, dan kecepatan berpikir, maupun motivasi belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka Problem Based Learning merupakan suatu pendekatan yang menjadikan masalah nyata sebagai awal pembelajaran yang memiliki 4 fase yakni: (1) orientasi pada masalah; (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar; (3) membantu penyelidikan mandiri maupun kelompok; dan (4) evaluasi.