CANDI BROBUDUR

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA

    Freudenthal (Gravemeijer, 1994: 82) mengungkapkan bahwa “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity”.Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah matematika sebagai aktivitas manusia, meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan, kemudian aktivitas-aktivitas tersebut dinamakan matematisasi. Realistic Mathematics Education (RME) di Indonesia dikenal dengan istilah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang secara operasional disebut Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia. Menurut Suryanto (2000: 111) yang dimaksud dengan “realistik” adalah pembelajaran matematika yang dikaitkan dengan “dunia nyata siswa” dan dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang mengandung situasi “dunia nyata siswa” disebut masalah kontekstual. Sutarto Hadi (2006b: 10) menyatakan bahwa masalah kontekstual dapat digali dari (1) situasi personal siswa, yaitu yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari siswa, (2) situasi sekolah/akademik, yaitu berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran siswa, (3) situasi masyarakat, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar siswa tinggal, dan (4) situasi saintifik/matematik, yaitu yang berkenaan dengan sains atau matematika itu sendiri.

    Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal dengan penjelasan sebagai berikut “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa matematisasi horizontal meliputi proses transformasi masalah nyata/sehari-hari ke dalam bentuk simbol, sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Gravemeijer (1994: 93) mengemukakan bahwa dalam proses matematisasi horizontal, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Pada mulanya siswa akan memecahkan masalah secara informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah yang serupa (melalui simplifikasi dan formalisasi), siswa akan menggunakan bahasa yang lebih formal dan diakhiri dengan proses siswa akan menemukan suatu algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma disebut matematisasi vertikal.

    Menurut Hadi (2005: 21) dalam matematisasi horizontal, siswa mulai dari masalah-masalah kontekstual mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dalam proses ini, setiap siswa dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan siswa yang lain, sedangkan dalam matematisasi vertikal, siswa juga mulai dari masalah-masalah kontekstual, tetapi dalam jangka panjang siswa dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat digunakan untuk meyelesaiakan masalah-masalah sejenis secara langsung, tanpa menggunakan bantuan konteks. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian. Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange (1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horizontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut.

    Zulkardi (2006: 6) menyatakan  pembelajaran seharusnya tidak diawali dengan sistem formal, melainkan diawali dengan fenomena di mana konsep tersebut muncul dalam kenyataan sebagai sumber formasi konsep. Menurut de Lange (1987: 2) proses pengembangan konsep-konsep dan ide-ide matematika berawal dari dunia nyata dan pada akhirnya merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali ke dunia nyata. Berikut digambarkan siklus matematisasi konseptual, dimana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber proses pengembangan ide-ide dan konsep-konsep, tetapi juga sebagai area untuk mengaplikasikan kembali matematika. Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas, Gravemeijer (1994: 91) menyatakan bahwa “Mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part”. Maknanya, matematika dipandang sebagai suatu aktivitas, maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran.

    Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran matematika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini, matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.